Jumat, 09 Januari 2009

menggiatkan usaha pertanian

Tematik : tokoh panutan

A.A. GDE AGUNG, BUPATI BADUNG
Agar Seimbang Selatan-Utara
Bupati Badung A.A. Gde Agung menjaga keseimbangan antara kawasan utara dan selatan. Menggiatkan usaha pertanian.

Suatu hari, Anak Agung Gde Agung mempunyai mimpi. Sebab, Bupati Badung itu melihat betapa berbedanya kawasan utara Kabupaten Badung yang terdiri dari pegunungan, dan bagian selatan yang memiliki pantai yang landai dan indah seperti Kuta. Udara yang hangat di selatan ini menjadikan daerah itu tempat pelesir favorit bagi turis yang berambut pirang ataupun mereka yang berkulit cokelat.

Bagian selatan ini pula yang menjadi penyumbang pendapatan asli daerah tersebut sejak dulu. Pajak hotel dan restoran adalah sumber pendapatan yang luar biasa, hingga membuat Badung kabupaten terkaya di Pulau Dewata.

Tetapi kawasan utara jauh berbeda. Di sini penduduknya hidup dari pertanian. Alhasil, sukar disanggah, selain pendapatan antara penduduk dua kawasan ini jadi timpang, terjadi pula perbedaan gaya hidup.

Hingga tahun lalu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah turis dari luar negeri yang datang ke sana mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2003, jumlahnya yang 990 ribu melonjak menjadi 1,7 juta pada 2007. Nah, terbayang sudah uang yang berseliweran di sana.

Menciptakan keseimbangan itulah yang menjadi salah satu program yang digagas Anak Agung Gde Agung pada saat maju dalam pemilihan bupati tiga tahun silam. Selama tiga tahun pemerintahannya, Gde Agung menemukan jalan ini untuk memperkecil kesenjangan yang terjadi di antara dua kawasan itu.

Caranya? Banyak. Di antaranya dengan melakukan perimbangan pembangunan yang dibiayai dari anggaran pendapatan belanja daerah. Berbagai infrastruktur mereka bangun. Lalu, potensi yang dimiliki kawasan itu dikembangkan. Kawasan utara sebagai penghasil bumi menjadi penyedia kebutuhan para pengusaha pariwisata di kawasan selatan.

Ide lain adalah mendirikan sebuah sekolah yang melatih kompetensi agrobisnis atau agrowisata. ”Kelak, lulusan dari sekolah itu bisa menjadi tenaga kerja di bidang tersebut atau membuka usaha sendiri,” kata Agung. Dalam bayangannya, dengan mendirikan sekolah menengah pertanian, yang sepenuhnya disubsidi pemerintah daerah, dia menginginkan kawasan ini bisa tumbuh menjadi basis pertanian yang kuat.

Gedung sekolah itu sebelumnya adalah pesanggrahan milik pemda. Bentuknya pun tak berubah sampai sekarang. Namun, di bagian belakang, pemandangannya berbeda. Selain beberapa gedung berupa kelas, sebuah bangunan besar tampak mencolok. Bangunan itu tinggi tapi tidak berdinding. ”Kami sedang membangun laboratorium,” kata I Gusti Made Bawasuarya, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Petang, Badung Utara. Sehari-hari Bawasuarya mengelola sekolah yang memiliki sekitar 300 siswa di tahun ketiganya itu. Jumat tiga pekan silam, Tempo bertandang ke sana. Sayang, hari itu sekolah kosong. ”Kami baru saja menyelesaikan ujian semester,” katanya.

Beruntung, Badung memiliki Gde Agung. Pria berusia 59 tahun ini, jauh sebelum menjabat kepala daerah, memang sudah dikenal masyarakat. Pria yang pernah bekerja sebagai notaris ini salah satu penglingsir atau pemuka masyarakat dari Puri Mengwi.

Secara tradisional, penglingsir mendapat tempat di hati masyarakat. Warga mendatangi tokoh seperti Gde Agung pada saat-saat tertentu. Misalnya ketika sawah mereka kekurangan air.

Gde Agung maju dalam pemilihan Bupati Badung pada Juni 2005, dengan dukungan para pemuka adat. ”Tapi setiap calon harus mendapat sokongan partai politik,” katanya. Partai Golkar menjadi salah satu pendukungnya.

Dukungan dari masyarakat ini membuat langkah Gde Agung kian mantap. Sebaliknya, dia tidak meninggalkan akarnya. Dia menggerakkan lembaga adat di sana. Salah satunya dengan mengembangkan lembaga perkreditan. Sumbangan ini membawa perubahan yang luar biasa. Lembaga adat pun ikut bergabung dalam program-program pemerintahan daerah.

Namun, yang terpenting, menurut Gde Agung, wilayahnya membutuhkan keseimbangan dari daerah lainnya. Untuk itu pula, dengan pendapatan pajak yang berlimpah dari sektor pariwisata, pihaknya memberikan bantuan kepada daerah di sekelilingnya.

Untuk anggaran tahun ini saja, mereka mengucurkan bantuan kepada enam kabupaten di sekitarnya, yakni Jembrana, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Bangli, dan Klungkung. Masing-masing berbeda jumlahnya. Namun total dana yang disalurkan mencapai Rp 15 miliar. ”Ini merupakan upaya kami dalam menjalankan prinsip one island management,” katanya.

Masalah tentu saja bukan tidak ada. Satu di antaranya adalah penduduk pendatang. Bagaimanapun, Kuta dan tempat lainnya tak ubahnya gula nan manis yang selalu dikerubungi semut. Masalah lainnya, persoalan lingkungan.

Di antaranya pembangunan yang mengambil lahan pertanian. ”Kami telah membongkar bangunan yang tidak memiliki izin,” katanya tentang upaya membuat lingkungan hidup di sana tetap terjaga.

Hal lainnya adalah soal alih fungsi lahan menjadi bangunan hotel, misalnya, dari tahun ke tahun kian berkurang jumlahnya. Hingga tahun ini, alih fungsi lahan ini tinggal 1 hektare saja. ”Tapi kami tak bisa melarang penduduk yang menjual tanahnya,” katanya.

Bagi Gde Agung, semua upaya ini bermuara pada upaya menjaga semua berada dalam keseimbangan.

sumber : tempoInteraktif

walikota menjamu pedagang kaki lima

Tematik : tokoh panutan

JOKO WIDODO, WALI KOTA SURAKARTA
Wali Kaki Lima
Di banyak daerah, pedagang kaki lima digusur dan dikejar-kejar. Di Surakarta, mereka dijamu makan Wali Kota.

SEMUANYA berawal pada 2005. Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Joko bingung. Ia tak ingin menempuh cara gampang: panggil polisi dan tentara, lalu usir pedagang itu pergi. ”Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak,” katanya.

Tak bisa tidak: pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Tiga wali kota sebelumnya angkat tangan. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor wali kota kalau digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali—1998 dan 1999—dihanguskan massa.

Lalu muncul ide: untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir mebel 18 tahun, Joko tahu betul ampuhnya ”lobi meja makan”.

Rencana disusun. Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari—kawasan paling elite di Solo. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.

Aksi dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota. Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengutus lembaga swadaya masyarakat. Joko menahan diri. Seusai makan, dia mempersilakan mereka pulang. Para pedagang kaki lima kecele. ”Enggak ada dialog, Pak?” tanya mereka. ”Enggak. Cuma makan siang, kok,” jawab Joko.

Tiga hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi cuma SMP—sudah makan pulang. Ini berlangsung terus selama tujuh bulan. Baru pada jamuan ke-54—saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir—Joko mengutarakan niatnya. ”Bapak-bapak hendak saya pindahkan,” katanya. Tak ada yang membantah.

Para pedagang minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Joko tak berani. Dia cuma berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan—yang khusus dibangun untuk relokasi—selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Janji itu dia tepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota.

Terakhir, mereka minta kios diberikan gratis. ”Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan,” kata Joko. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jadilah para pedagang tak mengeluarkan uang untuk kios barunya. Sebagai gantinya, para pedagang harus membayar retribusi Rp 2.600 per hari. Joko yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali.

Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pada pertengahan tahun lalu berlangsung meriah. Bukannya dikejar-kejar seperti di kota lain, mereka pindah dengan senyum rasa bangga. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng—simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap.

”Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata Joko. Diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. ”Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya.

Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.

Berhasil dengan Banjarsari, Joko merambah kaki lima di wilayah lain. Untuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.

Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. ”Sekarang kami yang kewalahan karena belum punya dana,” kata Joko, tertawa. Tapi rencana terus jalan. Januari mendatang, misalnya, akan dibuat Pasar Malam di depan Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan.

Joko juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional yang selama 30-an tahun tak pernah diurus. Tiga tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2010, sebagian besar dari 38 pasar tradisional Solo telah dibangun ulang.

Ketika masih mengelola sendiri usaha mebelnya, Joko sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah.

Di sini kebalikan. Ibu-ibu lebih suka ke mal karena pasarnya kotor dan berbau. ”Makanya pasar saya benahi,” katanya. Agar lebih menarik, tahun depan akan dibuat promosi: belanja di pasar dapat hadiah mobil.

Toh, tak sia-sia Joko ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.

sumber : tempoInteraktif

Sabtu, 27 Desember 2008

desa dan kecamatan terhubung jaringan Internet

Tematik : tokoh panutan

UNTUNG SARONO WIYONO SUKARNO, WALI KOTA SRAGEN

Dalang kota Digital
Semua desa dan kecamatan terhubung dalam jaringan Internet. Mendalang jadi ajang penyebaran program.

APEL pertama, Mei 2001, membuat kuping pegawai Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memerah. Bupati baru, Untung Wiyono, melontarkan kalimat menohok. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebutkan pegawai negeri tak pernah kreatif, tak berdisiplin, apalagi inovatif. Birokrasi identik dengan kaku, rumit, tak transparan, dan berbelit-belit.

Citra buruk birokrasi pegawai negeri itu sudah begitu melekat. Untung, 58 tahun, memang pernah punya pengalaman pahit. Pengusaha minyak dan gas ini terganjal urusan birokrasi sehingga bisnisnya gagal. ”Saya pernah menangis karena soal itu,” katanya.

Pengalaman pahit itu mendorong Untung mereformasi birokrasi ketika memimpin Bumi Sukowati—nama lain Sragen. Ia mendatangkan konsultan untuk memberikan masukan sekaligus melatih di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, kesehatan, ekonomi, serta sistem teknologi informasi.

Ketika masih menjadi pengusaha, Untung memiliki 6.500 karyawan. Kantor barunya di Kabupaten Sragen pada 2001 mempunyai 13 ribu pegawai. Banyak sumber daya manusia tersedia tapi tak cakap dengan bidang tugasnya.

Untung pun menunda rekrutmen pegawai baru dalam dua tahun pertama. Ia baru menambah pasukannya pada akhir 2003. Sragen menjaring pegawai dengan standar nasional. Peserta menghadapi beberapa tahap, seperti tes pengetahuan umum, psikologi, kesehatan, bahasa Inggris, serta kemampuan komputer. Pelamar sarjana juga harus menyertakan sertifikat TOEFL dengan nilai minimal 500.

Pegawai lama dan baru kemudian mendapat pelatihan bahasa Inggris dan komputer rutin. Sragen pun kian berkembang. Badan pelayanan terpadu yang muncul pada 2002 selalu mendapat penghargaan. Tahun lalu, Sragen dinobatkan sebagai kabupaten terbaik penyelenggara pelayanan terpadu satu pintu dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lewat badan ini, pembuatan kartu penduduk, misalnya, hanya perlu waktu dua menit. Sebanyak 59 perizinan, dari izin mendirikan bangunan hingga izin kursus, serta 10 jenis layanan nonperizinan, seperti akta pengangkatan anak, berlangsung lebih cepat.

Untuk mendukung pelayanan satu atap, Untung memasang jaringan Internet di semua desa dan kecamatan mulai tahun lalu. Sragen memiliki 208 desa dan 20 kecamatan. Setiap desa minimal memiliki dua komputer dengan kamera plus satu laptop. Dengan Internet, semua desa itu bisa memangkas biaya telepon karena menggunakan voice over Internet protocol (VoIP).

Komputer di desa itu terhubung dengan kecamatan, dinas, badan, serta kantor bupati. Mereka membangun jaringan intranet yang disebut kantor maya. Jadinya setiap kepala desa, dinas, atau badan bisa memberikan laporan harian kepada Bupati atau pejabat lain tanpa perlu repot mengirim kurir. Rapat bisa dilakukan dari tempat masing-masing. Lewat internet pula berbagai laporan keuangan bisa dipantau.

Sragen mempercayakan pembangunan infrastruktur jaringan Internet itu kepada pegawainya, dari membuat peranti lunak, membuat dan mengelola situs, hingga memasang menara pemancar. ”Satu-satunya pegawai negeri yang manjat tower, ya, di Sragen,” kata Budi Sulihanto, Kepala Bagian Penelitian, Pengembangan, dan Data Elektronik. ”Saban tahun, mereka menerima pembagian keuntungan, jadinya sejahtera, he-he-he...,” kata Untung kepada Tempo. Ia pun getol menularkan konsep jaringan Internetnya itu ke mana-mana.

Teknologi semakin menghapus jarak wilayah di Sragen. Sejumlah kegiatan bisa dilakukan hanya di depan komputer. Namun Untung tetap melakukan kegiatan rutin dengan menyambangi langsung masyarakat, misalnya dengan pergelaran wayang. Tiga pekan lalu, Untung manggung atas undangan Sunardi, petugas keamanan alias jogoboyo Desa Sunggingan, Kecamatan Miri.

Ia menjadi dalang dadakan pada sesi Limbukan. Pada bagian ini, sang dalang menampilkan tokoh Cangik dan Limbuk, ibu dan anak yang biasanya saling melempar guyonan. Dari obrolan ibu langsing dan putri gemuk itu, Untung menyisipkan pandangannya. Lewat Cangik, dia memaparkan jumlah kurban tahun ini. Sragen menjadi kabupaten dengan hewan sembelihan terbanyak se-Jawa Tengah, yakni 12 ribu kambing dan 1.200 sapi.

Cangik juga sangat cakap berbicara tentang pentingnya menggunakan produk sendiri. Sragen memang sedang mengembangkan pola makan hasil olahan lokal serta beras organik. Singkong, pisang, dan kacang rebus menjadi suguhan wajib di setiap kantor Sragen, termasuk dalam pentas wayang itu. ”Jadi, biarpun ada krisis global, warga Sragen tetap waras dan wareg,” kata Untung, eh, Ibu Cangik.

Untung menyukai seni wayang sejak remaja. Pria kelahiran Desa Jurangrejo, sekitar tiga kilometer dari Kota Sragen, ini mengagumi karakter Pandawa. Ia baru serius mendalami ilmu dalang setelah terpilih pada 2001. Ia berguru kepada dalang senior Sragen, seperti Nyi Harni Sabdowati, Bagong Kendang, dan Medot Sudarsonoputra, putra Ki Manteb Sudarsono.

Setelah kembali terpilih dengan suara mutlak 87,34 persen pada 2006, Untung meneruskan kariernya sebagai dalang. Ia bisa manggung sepuluh kali dalam sebulan. Untung pernah mendalang di ujung barat Sragen, Kecamatan Kalijambe, dan ujung timur, Sambungmacan, sejauh sekitar 44 kilometer. ”Wayang adalah sarana komunikasi paling dekat dengan rakyat,” ujar Untung.

sumber : majalahTempoInteraktif

Kamis, 25 Desember 2008

memulai dengan kebijakan tak populer

Tematik : tokoh panutan

ILHAM ARIF SIRAJUDDIN, WALI KOTA MAKASSAR

Cerita dari Pantai Cinta
Ia memulai karier dengan kebijakan tak populer. Akhirnya dekat di hati rakyat.

OMBAK menebah dermaga plastik yang terapung. Sudah dua jam lebih pemuda itu terombang-ambing. Di bibir anjungan Pantai Losari, Makassar, ia memainkan pancing, Jumat sore dua pekan lalu. Kerambanya masih kosong. ”Kadang sampai lepas magrib tak dapat,” kata Ali Nurdin. Sejak anjungan rampung, hampir saban hari Ali, warga Mamajang, datang ke Losari.

Kerapian Pantai Losari bermula dari pertemuan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Wali Kota Ilham Arif Sirajuddin di Makassar, Juli empat tahun silam. Dalam bincang-bincang sepeminuman teh, Megawati setuju mencanangkan revitalisasi pantai. Melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, Makassar mendapat bantuan Rp 25 miliar.

Awalnya, banyak pihak sangsi, termasuk anak buah Ilham. Berkaca ke tahun-tahun lalu, revitalisasi selalu kandas di tengah jalan. Pertama soal biaya. Kedua, banyak yang menentang, terutama pedagang kaki lima. Bila terbetik pembenahan, silih berganti demo memenuhi jalanan.

Dulu, setiap menjelang senja, warung tenda mulai berbentangan di jalur pantai sepanjang satu kilometer itu. Makanan-minuman segala rupa: coto makassar, sop konro, palu basah, es pisang ijo..., tinggal sebut! Makin malam, suasana makin marem.

Apalagi pada hari libur atau ketika ada pergelaran. Orang membeludak ke jalan. Kendaraan terpaksa mencari jalur memutar. Dampak lainnya: pantai tercemar, sampah mengambang di mana-mana. Menghadapi kenyataan ini, Ilham berpikir keras.

Setelah didukung Megawati, Ketua Partai Golkar Makassar itu mengerahkan 16 kadernya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan pun menyetujui Rp 5 miliar untuk pengerjaan tahap awal. Pemerintah Provinsi menambahi Rp 2 miliar.

Tapi jalan belum lapang. Demo masih ramai: Ilham dituding main mata dengan investor. Bila pantai dibenahi, orang khawatir harus membayar tiket masuk. Ilham seperti tak ambil pusing. ”Dia berani tidak populer,” kata pakar otonomi daerah, Andi Mallarangeng. ”Banyak terobosannya.”

Dua tahun lalu, anak Bupati Gowa Arif Sirajuddin itu membuktikan semua tuduhan mereka tak benar. Tak dipungut bayaran masuk. Kini masyarakat menanti anjungan Bugis-Makassar dan Toraja-Mandar yang masih dikerjakan. Makassar benar-benar menjadi waterfront city. Hotel, hospital, restoran, kafe, dan tempat hiburan menatap pemandangan pantai dan laut lepas yang menawan.

Menurut Ilham, sebagai gerbang utama menuju kawasan timur Indonesia, Makassar perlu bersolek. Ia berambisi menjadikan Makassar kota metropolitan pertama di luar Jawa. Akhir tahun lalu ia pun memulai proyek keduanya, memermak Lapangan Karebosi.

Kala itu, ruang terbuka di jantung kota tersebut memang tak layak lagi menjadi landmark ibu kota. Hujan sebentar saja, air sudah menggenang. Maklum, Karebosi satu meter di bawah permukaan jalan. Rumput menyembul tak rata. Di bawah pohon-pohon besar yang tersebar mengitari pagar, puluhan waria menjalankan aksinya, tak kenal sore atau malam.

Seperti waktu merombak Losari, aksi tata kota ini mendapat serangan serupa. Bahkan makin gencar, lantaran saat itu proses pemilihan wali kota mulai bergulir. Lagi-lagi Ilham tak ambil pusing. Ruang terbuka hijau di pusat Kota Anging Mamiri itu ditimbun tanah hingga satu meter di atas permukaan jalan. Untuk menambah penangkal banjir, drainase dibereskan. ”Air disalurkan ke pantai,” kata Ilham.

Agar kota bertambah segar, ratusan pohon ditanam di area sebelas hektare itu. Rumput dicukur rapi. Arena bermain yang sudah beroperasi sejak empat bulan lalu adalah lapangan sepak bola, softball, dan futsal yang dipisahkan jalur pedestrian selebar tiga meter. Di jalur itu, setiap sepuluh meter, satu pohon tumbuh menjulang.

Kamis dua pekan lalu, belasan pekerja terlihat merampungkan jalur menuju pendaratan helikopter di sisi utara lapangan. ”Tempat ini juga digunakan sebagai lapangan upacara,” kata Syamsul, salah seorang pekerja.

Nah, di bawahnya berdiri pertokoan dan mal yang memakan ruang hingga 2,9 hektare. Para pedagang, yang biasanya bertaburan, kini berjualan dengan tenang. Pengunjung juga banyak yang datang lantaran barang yang ditawarkan makin beragam. Soal ”banci”, kini tak ada lagi yang berani melenggang.

Jerih payah itu kemudian mulai berbuah. Sejak Ilham menjadi wali kota empat tahun silam, investasi yang masuk Rp 8,9 triliun. Ia memberikan kemudahan izin usaha. Misalnya, rekomendasi dari pemerintah kota tak lebih dari satu jam.

Pesatnya pendapatan daerah mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang tahun lalu mencapai 8,09 persen, jauh di atas angka nasional yang hanya 6,3 persen. Anggaran dan pendapatan daerah tiap tahun juga makin meningkat (lihat tabel).

Alokasi dana kesejahteraan pun terus bertambah. Tahun ini, untuk biaya kesehatan, pemerintah kota menganggarkan Rp 27,9 miliar. Dengan dana sebesar itu, warga tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun bila berobat ke puskesmas.

Ilham juga menerbitkan 60 ribu kartu miskin yang digunakan warga untuk mendapat layanan gratis kesehatan dan pendidikan. Bahkan siswa di 46 sekolah dasar dan empat sekolah menengah pertama mendapat seragam dan alat tulis cuma-cuma.

Masyarakat Makassar, akhirnya, merasa dekat dengan sang Wali Kota. ”Pak, foto bareng, ya?” serombongan muda-mudi di Pantai Losari menyapa Ilham, Jumat dua pekan lalu. Ilham bahkan ”patuh” ketika mereka meminta dia mengacungkan jempol saat berpose.

sumber:
majalahTempoInteraktif

Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.

Tematik : tokoh panutan

DJAROT SAIFUL HIDAYAT, WALI KOTA BLITAR

Dengan Belimbing dan Kendang Jimbe
Di tangannya, birokrasi Kota Blitar jadi ramping. Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.


DJAROT Saiful Hidayat tak segan tampil beda di tengah zaman yang ditandai dengan gedung mentereng dan lampu sorot. Wali Kota Blitar ini menolak pembangunan mal mewah dan membatasi minimarket. Pedagang kaki lima diberi tempat leluasa. ”Saya bangga, kota saya dipenuhi pedagang kaki lima,” katanya.

Tentu saja, pedagang kaki lima di Blitar tak semrawut seperti cendol tumpah. Djarot menata 1.000-an pedagang kaki lima yang tadinya membikin kumuh kompleks alun-alun kota. ”Lumayan, satu kaki lima menyerap paling sedikit tiga orang tenaga kerja,” katanya. Djarot yakin, ini potensi perekonomian yang tak kalah dibanding pembangunan mal.

Pada 2000, di awal masa jabatannya, alun-alun itu dibenahi. Taman dikembalikan fungsinya. Tak jauh dari alun-alun dibangun kompleks untuk pedagang kaki lima. ”Saya bilang, sampeyan boleh jualan tapi harus bersih,” kata pria 46 tahun ini.

Walhasil, semua orang tersenyum. Pedagang kaki lima girang karena mendapat lokasi yang nyaman. Anak-anak riang bermain di taman. Djarot pun senang menikmati udara, bersepeda ontel, lalu membeli jajanan di warung kaki lima. Alun-alun kembali menjadi milik publik.

Sambil menyeruput kopi jahe buatan sang istri, Happy Farida, 39 tahun, Djarot mengisahkan kesibukannya memimpin warga kota kelahiran Soekarno, Presiden RI pertama.

Sebagai wali kota, urusan Djarot tentu bukan cuma alun-alun. Begitu menjabat delapan tahun lalu, mantan dosen di Universitas 17 Agustus Surabaya ini segera memusatkan perhatian pada birokrasi. Struktur organisasi yang gemuk, tumpang-tindih, telah membuat pemerintahan bergerak laksana gajah tua. ”Ini ndak bisa dibiarkan,” katanya.

Pedang pun diayunkan. Djarot tak memperpanjang usia pensiun pejabat. Posisi tak efektif yang kosong ditinggal pensiun dibiarkan tak terisi. Hasilnya, hampir sembilan tahun, 300 posisi di birokrasi telah dipangkas.

Rekrutmen pegawai ditangani serius. Djarot menggandeng Universitas Airlangga, Surabaya. ”Saya percaya, untuk mendapat birokrat berkualitas, harus dimulai dari rekrutmen.”

Maka, dua pekan lalu, proses seleksi berjalan tanpa campur tangan pemerintah kota. Semuanya dipasrahkan kepada tim Universitas Airlangga. ”Saya melarang staf saya masuk,” katanya.

Budaya birokrasi juga dibereskan. ”Birokrat itu pelayan masyarakat, tapi nyatanya justru birokrat yang sering minta dilayani,” katanya. Bersama berbagai lapisan masyarakat, Pemerintah Kota Blitar menyusun Citizen’s Charter, kontrak pelayanan. Di sini, berbagai hal disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak.

Adalah Puskesmas Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, yang dijadikan proyek percontohan pada 2005. Kontrak yang dibuat di sana antara lain jadwal pelayanan, waktu antre, dan standar ruang pelayanan. ”Senyum dan tata cara menerima telepon juga masuk kontrak, ha-ha-ha…,” kata Djarot.

Jurus jitu. Puskesmas Bendo dulu dikunjungi 70-an pasien saban hari. Setelah kontrak diterapkan, puskesmas ini didatangi minimal seratus orang per hari. Kualitas kesehatan pun meningkat. Kini, model pelayanan di puskesmas Bendo menjadi standar rujukan pelayanan di Indonesia.

Djarot tak pernah bermimpi menarik investor besar untuk mendirikan pabrik berjejer-jejer di Blitar. Kalangan industri toh lebih memilih kawasan sekitar Surabaya. Maka ia lebih getol mendorong pertumbuhan usaha kecil. Saat ini sekitar 15 ribu usaha mikro-menengah hidup di kota berpenduduk 132 ribu jiwa ini.

Kota Blitar juga dikenal sebagai produsen kendang jimbe, yang tak hanya dijual ke Bali, tapi juga ke Prancis dan Afrika. Kendang ini badannya terbikin dari kayu bubut, ditutup kulit lembu, dan diikat dengan tali-temali.

Priyo Widigdo dari Bagian Pemasaran Paguyuban Perajin Bubut Kota Blitar menilai Djarot amat berperan membuka jalan pemasaran produk kerajinan Blitar. ”Kami banyak dibantu. Bisa berkonsultasi dengan Pak Wali Kota kapan pun,” kata Priyo.

Produk unggulan lainnya adalah belimbing. Pusatnya di Kelurahan Karangsari. Di kota ini tumbuh 28 ribu pohon belimbing yang menghasilkan 2.000 ton buah per tahun dan dijual hingga Jakarta. Sebagian belimbing juga diolah menjadi sirop dan dodol.

Belimbing telah menghidupi banyak orang. Supriadi Bagong, 38 tahun, misalnya, memiliki 70 pohon ini. Dari kebunnya itu ia beroleh pemasukan Rp 1,5 juta per bulan.

Djarot punya obsesi lain: memberantas kemiskinan dengan menggerakkan kebersamaan warga. Inspirasinya datang lima tahun lalu, saat meresmikan jembatan Sukorejo. Di tengah seremoni, ia terenyak menyaksikan sejumlah rumah berdinding gedek yang bolong-bolong.

Sejak itu, pemerintah kota mengucurkan uang insentif untuk memermak rumah warga yang tak layak huni. Nilainya Rp 4,5-7 juta per rumah. Masyarakat bergotong-royong menyumbang dan melaksanakan ”operasi bedah rumah” yang berbiaya Rp 15-20 jutaan tiap rumah. Kini, sudah 600-an rumah dibedah. ”Dua ratusan rumah menyusul,” kata Djarot.

Hari itu, Djarot mengakhiri perbincangan dengan ajakan minum kopi di warung Mbah Munawaroh, di samping Pasar Legi. Kopi di warung ini dijamin segar dan mantap. Simbah sendiri yang memilih biji kopi, menyangrai, dan menumbuknya. Tangan keriput nenek 75 tahun ini bekerja dengan lihai, menyajikan kopi tubruk yang harum dengan asap mengepul. Slurrp, hm, kopi yang nikmat. Djarot memuji Simbah, ”Panjenengan memang top, Mbah.”

sumber:
majalahTempoInteraktif

Belajar dari para tokoh

Tematik : tokoh panutan

Newsgroups: gmane.org.region.indonesia.bandung.itb-77
Date: 2008-12-23 06:21:06 GMT (2 days, 18 hours and 48 minutes ago)

Dear all,
Berikut adalah cuplikan dari Laporan Utama majalah Tempo mengenai kiprah para Kepala Daerah Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, mengapa mereka bisa terpilih menjadi sepuluh besar dari 472 orang.

Hal ini disampaikan untuk menunjukkan betapa banyak dan mungkin betapa sederhana sebenarnya keinginan atau aspirasi rakyat yang dituntut dari para pemimpinnya, cukup sederhana saja - asal dilakukan dengan hati.
Semoga menjadi inspirasi kita semua dalam berkiprah - tidak hanya para caleg lho- untuk turut mensejahterakan rakyat, semoga.....

Ada begitu banyak pelajaran dari sepuluh tokoh ini. Yang terpenting, Jakarta perlu percaya bahwa daerah bisa mengurus diri sendiri. Banyak tokoh lokal yang ternyata mampu melahirkan terobosan dan inovasi—yang tak muncul pada masa kepala daerah ”diterjunkan” dari atas. Mereka menolak fenomena klasik birokrasi: korupsi, inefisiensi, bekerja tanpa visi. Sepuluh orang ini menempatkan teladan dan kejujuran di urutan pertama. Mereka percaya, komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan, bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja mencapainya.

  1. Seperti kata Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, negara kesatuan ini memang harus dibangun dari daerah. Dokter ini pun menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi ”Singapura kecil” dalam waktu sepuluh tahun. Sebelum era otonomi, Jusuf mengaku tak ubahnya seorang satpam yang hanya melaksanakan perintah atasan.

  2. Seorang Untung Sarono Wiyono Sukarno dengan kegairahan luar biasa pada teknologi informasi menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu efisiensi pemerintahan meningkat pesat.

  3. Wali Kota Solo Joko Widodo—yang di daerahnya disapa Jokowi—mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas: mengerahkan aparat atau membakar lokasi. ”Setelah makan, ya, saya suruh pulang lagi,” kata Jokowi. Setelah undangan makan yang ke-54, baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Para pedagang gembira ria, mereka menyediakan tumpeng sendiri.

  4. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mendapat julukan ”Wagiman” alias wali kota gila taman. Tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, membeli lahan-lahan kosong hanya untuk taman. Yogya terasa segar, karena taman bertambah dari 9 menjadi 22 hektare.

  5. Bertahun-tahun Lapangan Karebosi di Makassar menjadi milik para waria pada malam hari. Kemudian datanglah wali kota baru, Ilham Arif Sirajuddin, 43 tahun, yang dengan berani mengubah lapangan itu. Ia yakin, warga Makassar perlu lebih banyak ruang terbuka. Ia dilawan, didemo, tapi ia tahu bahwa kepentingan publik nomor satu. Lapangan kumuh dan kerap direndam banjir itu akhirnya menjelma menjadi tempat yang megah tanpa kehilangan label sebagai tempat rendezvous penduduk.

  6. Di Blitar, Jawa Timur, Djarot Saiful Hidayat memulai pekerjaan dengan mereformasi birokrasi yang tambun dan lamban. Dengan begitu, ”Anggaran belanja daerah pasti cukup, asal jangan dikorupsi,” kata penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional ini. Ia tak mengganti mobil dinasnya, Toyota Crown tahun 1994, sejak hari pertama menjabat. ”Modal saya hati. Saya ingin warga Blitar maju dan sejahtera,” ujar Djarot, yang sudah dua periode menjabat.

  7. David Bobihoe meruntuhkan pagar rumah dinasnya di Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Pos jaga ia ratakan dengan tanah. Tamu dari mana saja bebas duduk-duduk di teras rumah, tanpa terhadang aturan protokol ketat. Dia rajin berkeliling daerah, mendengar kemauan orang banyak. Ia sukses mengajak rakyat membangun, menanam jagung, dan mengekspor hasilnya.

  8. Bupati Badung, Bali, Anak Agung Gde Agung, punya masalah berat: ekonomi penduduk timpang. Di daerah selatan, Kuta dan sekitarnya, masyarakat makmur karena pariwisata. Tapi petani di utara miskin. Sekolah pertanian ia bangun. Agrobisnis dikembangkan. Ia berhasil. Badung sekarang sanggup menyumbangkan sebagian pendapatan untuk enam kabupaten lain di Bali.

  9. Nun jauh di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Bupati Andi Hatta Marakarma menghadapi daerah pemekaran dengan potensi bagus tapi miskin prasarana. Ia membangun desa, termasuk jalan, dan membiarkan kantornya sangat sederhana. Resepnya jitu. Ekonomi rakyat berkembang. ”Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000,” kata salah seorang ketua kelompok tani di Luwu.

  10. Bupati Jombang Suyanto mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di puskesmas. Protes datang dari instansi kesehatan karena ia dinilai melecehkan dokter spesialis. Ia jalan terus dan sekarang puskesmas menyandang tingkatan ISO. Ia juga menggratiskan sekolah sampai sekolah lanjutan atas. ”Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat,” ujar bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu.

Best Regards,

Yadi Supriadi Wendy

Senin, 24 Maret 2008

Pemimpin Kabupaten Solok

Indonesia memerlukan banyak pemimpin negara di semua tingkatan yang mempunyai komitmen dan integritas untuk menciptakan clean and good governance.

Ada contoh yang menarik tentang pemimpin dengan kriteria ini di wilayah Sumatera Barat. Yaitu sosok mantan bupati kabupaten Solok tahun 1995-2005; Gamawan Fauzi, SH yang kini telah menjadi Gubernur Sumatera Barat.

Selama menjabat bupati Solok, ia terus mendorong lahirnya terobosan sistem dan tekad “hidup bersih” di lingkungan masyarakat Solok, terutama di jajaran eksekutif. Ada metode Pelayanan Satu Pintu (Yantupin), di mana semua perijinan diurus melalui satu loket saja, untuk memotong rantai birokrasi yang panjang dan korup. Di bawah kepemimpinan Gamawan Fauzi, Kabupaten Solok juga menjadi lahan yang subur untuk persemaian metode Pakta Integritas oleh Transparansi International Indonesia. Beberapa bulan sebelumnya, lembaga Komisi Pemilihan Umum menolak penerapan pakta ini di lingkungannya.

Salah satu program kerja Gamawan yang berhasil : Yantupin

Dalam hal pelayanan publik, keluhan masyarakat adalah pada sering tidak jelasnya waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan ijin, selain jumlah biaya dan tempat mengurusnya. Contoh-contoh pengurusan ijin adalah ijin usaha, ijin praktek, peminjaman alat-alat berat, ijin sewa gedung aset Pemda, dan berbagai akta, seperti akta kelahiran, dan akta perkawinan. Gamawan berpendapat ada sikap buruk birokrat yang telah berlangsung lama. Yaitu mempersulit ijin untuk mendapatkan keuntungan. Makin sulit ijinnya, makin tinggi harga tanda tangannya.

Inilah formula yang lahir setahun setelah Gamawan menjabat bupati Solok, sebagai jawaban atas keluhan-keluhan masyarakat mengenai perijinan. .....

Lengkapnya....