Kamis, 25 Desember 2008

Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.

Tematik : tokoh panutan

DJAROT SAIFUL HIDAYAT, WALI KOTA BLITAR

Dengan Belimbing dan Kendang Jimbe
Di tangannya, birokrasi Kota Blitar jadi ramping. Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.


DJAROT Saiful Hidayat tak segan tampil beda di tengah zaman yang ditandai dengan gedung mentereng dan lampu sorot. Wali Kota Blitar ini menolak pembangunan mal mewah dan membatasi minimarket. Pedagang kaki lima diberi tempat leluasa. ”Saya bangga, kota saya dipenuhi pedagang kaki lima,” katanya.

Tentu saja, pedagang kaki lima di Blitar tak semrawut seperti cendol tumpah. Djarot menata 1.000-an pedagang kaki lima yang tadinya membikin kumuh kompleks alun-alun kota. ”Lumayan, satu kaki lima menyerap paling sedikit tiga orang tenaga kerja,” katanya. Djarot yakin, ini potensi perekonomian yang tak kalah dibanding pembangunan mal.

Pada 2000, di awal masa jabatannya, alun-alun itu dibenahi. Taman dikembalikan fungsinya. Tak jauh dari alun-alun dibangun kompleks untuk pedagang kaki lima. ”Saya bilang, sampeyan boleh jualan tapi harus bersih,” kata pria 46 tahun ini.

Walhasil, semua orang tersenyum. Pedagang kaki lima girang karena mendapat lokasi yang nyaman. Anak-anak riang bermain di taman. Djarot pun senang menikmati udara, bersepeda ontel, lalu membeli jajanan di warung kaki lima. Alun-alun kembali menjadi milik publik.

Sambil menyeruput kopi jahe buatan sang istri, Happy Farida, 39 tahun, Djarot mengisahkan kesibukannya memimpin warga kota kelahiran Soekarno, Presiden RI pertama.

Sebagai wali kota, urusan Djarot tentu bukan cuma alun-alun. Begitu menjabat delapan tahun lalu, mantan dosen di Universitas 17 Agustus Surabaya ini segera memusatkan perhatian pada birokrasi. Struktur organisasi yang gemuk, tumpang-tindih, telah membuat pemerintahan bergerak laksana gajah tua. ”Ini ndak bisa dibiarkan,” katanya.

Pedang pun diayunkan. Djarot tak memperpanjang usia pensiun pejabat. Posisi tak efektif yang kosong ditinggal pensiun dibiarkan tak terisi. Hasilnya, hampir sembilan tahun, 300 posisi di birokrasi telah dipangkas.

Rekrutmen pegawai ditangani serius. Djarot menggandeng Universitas Airlangga, Surabaya. ”Saya percaya, untuk mendapat birokrat berkualitas, harus dimulai dari rekrutmen.”

Maka, dua pekan lalu, proses seleksi berjalan tanpa campur tangan pemerintah kota. Semuanya dipasrahkan kepada tim Universitas Airlangga. ”Saya melarang staf saya masuk,” katanya.

Budaya birokrasi juga dibereskan. ”Birokrat itu pelayan masyarakat, tapi nyatanya justru birokrat yang sering minta dilayani,” katanya. Bersama berbagai lapisan masyarakat, Pemerintah Kota Blitar menyusun Citizen’s Charter, kontrak pelayanan. Di sini, berbagai hal disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak.

Adalah Puskesmas Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, yang dijadikan proyek percontohan pada 2005. Kontrak yang dibuat di sana antara lain jadwal pelayanan, waktu antre, dan standar ruang pelayanan. ”Senyum dan tata cara menerima telepon juga masuk kontrak, ha-ha-ha…,” kata Djarot.

Jurus jitu. Puskesmas Bendo dulu dikunjungi 70-an pasien saban hari. Setelah kontrak diterapkan, puskesmas ini didatangi minimal seratus orang per hari. Kualitas kesehatan pun meningkat. Kini, model pelayanan di puskesmas Bendo menjadi standar rujukan pelayanan di Indonesia.

Djarot tak pernah bermimpi menarik investor besar untuk mendirikan pabrik berjejer-jejer di Blitar. Kalangan industri toh lebih memilih kawasan sekitar Surabaya. Maka ia lebih getol mendorong pertumbuhan usaha kecil. Saat ini sekitar 15 ribu usaha mikro-menengah hidup di kota berpenduduk 132 ribu jiwa ini.

Kota Blitar juga dikenal sebagai produsen kendang jimbe, yang tak hanya dijual ke Bali, tapi juga ke Prancis dan Afrika. Kendang ini badannya terbikin dari kayu bubut, ditutup kulit lembu, dan diikat dengan tali-temali.

Priyo Widigdo dari Bagian Pemasaran Paguyuban Perajin Bubut Kota Blitar menilai Djarot amat berperan membuka jalan pemasaran produk kerajinan Blitar. ”Kami banyak dibantu. Bisa berkonsultasi dengan Pak Wali Kota kapan pun,” kata Priyo.

Produk unggulan lainnya adalah belimbing. Pusatnya di Kelurahan Karangsari. Di kota ini tumbuh 28 ribu pohon belimbing yang menghasilkan 2.000 ton buah per tahun dan dijual hingga Jakarta. Sebagian belimbing juga diolah menjadi sirop dan dodol.

Belimbing telah menghidupi banyak orang. Supriadi Bagong, 38 tahun, misalnya, memiliki 70 pohon ini. Dari kebunnya itu ia beroleh pemasukan Rp 1,5 juta per bulan.

Djarot punya obsesi lain: memberantas kemiskinan dengan menggerakkan kebersamaan warga. Inspirasinya datang lima tahun lalu, saat meresmikan jembatan Sukorejo. Di tengah seremoni, ia terenyak menyaksikan sejumlah rumah berdinding gedek yang bolong-bolong.

Sejak itu, pemerintah kota mengucurkan uang insentif untuk memermak rumah warga yang tak layak huni. Nilainya Rp 4,5-7 juta per rumah. Masyarakat bergotong-royong menyumbang dan melaksanakan ”operasi bedah rumah” yang berbiaya Rp 15-20 jutaan tiap rumah. Kini, sudah 600-an rumah dibedah. ”Dua ratusan rumah menyusul,” kata Djarot.

Hari itu, Djarot mengakhiri perbincangan dengan ajakan minum kopi di warung Mbah Munawaroh, di samping Pasar Legi. Kopi di warung ini dijamin segar dan mantap. Simbah sendiri yang memilih biji kopi, menyangrai, dan menumbuknya. Tangan keriput nenek 75 tahun ini bekerja dengan lihai, menyajikan kopi tubruk yang harum dengan asap mengepul. Slurrp, hm, kopi yang nikmat. Djarot memuji Simbah, ”Panjenengan memang top, Mbah.”

sumber:
majalahTempoInteraktif

Tidak ada komentar: