Sabtu, 27 Desember 2008

desa dan kecamatan terhubung jaringan Internet

Tematik : tokoh panutan

UNTUNG SARONO WIYONO SUKARNO, WALI KOTA SRAGEN

Dalang kota Digital
Semua desa dan kecamatan terhubung dalam jaringan Internet. Mendalang jadi ajang penyebaran program.

APEL pertama, Mei 2001, membuat kuping pegawai Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memerah. Bupati baru, Untung Wiyono, melontarkan kalimat menohok. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebutkan pegawai negeri tak pernah kreatif, tak berdisiplin, apalagi inovatif. Birokrasi identik dengan kaku, rumit, tak transparan, dan berbelit-belit.

Citra buruk birokrasi pegawai negeri itu sudah begitu melekat. Untung, 58 tahun, memang pernah punya pengalaman pahit. Pengusaha minyak dan gas ini terganjal urusan birokrasi sehingga bisnisnya gagal. ”Saya pernah menangis karena soal itu,” katanya.

Pengalaman pahit itu mendorong Untung mereformasi birokrasi ketika memimpin Bumi Sukowati—nama lain Sragen. Ia mendatangkan konsultan untuk memberikan masukan sekaligus melatih di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, kesehatan, ekonomi, serta sistem teknologi informasi.

Ketika masih menjadi pengusaha, Untung memiliki 6.500 karyawan. Kantor barunya di Kabupaten Sragen pada 2001 mempunyai 13 ribu pegawai. Banyak sumber daya manusia tersedia tapi tak cakap dengan bidang tugasnya.

Untung pun menunda rekrutmen pegawai baru dalam dua tahun pertama. Ia baru menambah pasukannya pada akhir 2003. Sragen menjaring pegawai dengan standar nasional. Peserta menghadapi beberapa tahap, seperti tes pengetahuan umum, psikologi, kesehatan, bahasa Inggris, serta kemampuan komputer. Pelamar sarjana juga harus menyertakan sertifikat TOEFL dengan nilai minimal 500.

Pegawai lama dan baru kemudian mendapat pelatihan bahasa Inggris dan komputer rutin. Sragen pun kian berkembang. Badan pelayanan terpadu yang muncul pada 2002 selalu mendapat penghargaan. Tahun lalu, Sragen dinobatkan sebagai kabupaten terbaik penyelenggara pelayanan terpadu satu pintu dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Lewat badan ini, pembuatan kartu penduduk, misalnya, hanya perlu waktu dua menit. Sebanyak 59 perizinan, dari izin mendirikan bangunan hingga izin kursus, serta 10 jenis layanan nonperizinan, seperti akta pengangkatan anak, berlangsung lebih cepat.

Untuk mendukung pelayanan satu atap, Untung memasang jaringan Internet di semua desa dan kecamatan mulai tahun lalu. Sragen memiliki 208 desa dan 20 kecamatan. Setiap desa minimal memiliki dua komputer dengan kamera plus satu laptop. Dengan Internet, semua desa itu bisa memangkas biaya telepon karena menggunakan voice over Internet protocol (VoIP).

Komputer di desa itu terhubung dengan kecamatan, dinas, badan, serta kantor bupati. Mereka membangun jaringan intranet yang disebut kantor maya. Jadinya setiap kepala desa, dinas, atau badan bisa memberikan laporan harian kepada Bupati atau pejabat lain tanpa perlu repot mengirim kurir. Rapat bisa dilakukan dari tempat masing-masing. Lewat internet pula berbagai laporan keuangan bisa dipantau.

Sragen mempercayakan pembangunan infrastruktur jaringan Internet itu kepada pegawainya, dari membuat peranti lunak, membuat dan mengelola situs, hingga memasang menara pemancar. ”Satu-satunya pegawai negeri yang manjat tower, ya, di Sragen,” kata Budi Sulihanto, Kepala Bagian Penelitian, Pengembangan, dan Data Elektronik. ”Saban tahun, mereka menerima pembagian keuntungan, jadinya sejahtera, he-he-he...,” kata Untung kepada Tempo. Ia pun getol menularkan konsep jaringan Internetnya itu ke mana-mana.

Teknologi semakin menghapus jarak wilayah di Sragen. Sejumlah kegiatan bisa dilakukan hanya di depan komputer. Namun Untung tetap melakukan kegiatan rutin dengan menyambangi langsung masyarakat, misalnya dengan pergelaran wayang. Tiga pekan lalu, Untung manggung atas undangan Sunardi, petugas keamanan alias jogoboyo Desa Sunggingan, Kecamatan Miri.

Ia menjadi dalang dadakan pada sesi Limbukan. Pada bagian ini, sang dalang menampilkan tokoh Cangik dan Limbuk, ibu dan anak yang biasanya saling melempar guyonan. Dari obrolan ibu langsing dan putri gemuk itu, Untung menyisipkan pandangannya. Lewat Cangik, dia memaparkan jumlah kurban tahun ini. Sragen menjadi kabupaten dengan hewan sembelihan terbanyak se-Jawa Tengah, yakni 12 ribu kambing dan 1.200 sapi.

Cangik juga sangat cakap berbicara tentang pentingnya menggunakan produk sendiri. Sragen memang sedang mengembangkan pola makan hasil olahan lokal serta beras organik. Singkong, pisang, dan kacang rebus menjadi suguhan wajib di setiap kantor Sragen, termasuk dalam pentas wayang itu. ”Jadi, biarpun ada krisis global, warga Sragen tetap waras dan wareg,” kata Untung, eh, Ibu Cangik.

Untung menyukai seni wayang sejak remaja. Pria kelahiran Desa Jurangrejo, sekitar tiga kilometer dari Kota Sragen, ini mengagumi karakter Pandawa. Ia baru serius mendalami ilmu dalang setelah terpilih pada 2001. Ia berguru kepada dalang senior Sragen, seperti Nyi Harni Sabdowati, Bagong Kendang, dan Medot Sudarsonoputra, putra Ki Manteb Sudarsono.

Setelah kembali terpilih dengan suara mutlak 87,34 persen pada 2006, Untung meneruskan kariernya sebagai dalang. Ia bisa manggung sepuluh kali dalam sebulan. Untung pernah mendalang di ujung barat Sragen, Kecamatan Kalijambe, dan ujung timur, Sambungmacan, sejauh sekitar 44 kilometer. ”Wayang adalah sarana komunikasi paling dekat dengan rakyat,” ujar Untung.

sumber : majalahTempoInteraktif

Kamis, 25 Desember 2008

memulai dengan kebijakan tak populer

Tematik : tokoh panutan

ILHAM ARIF SIRAJUDDIN, WALI KOTA MAKASSAR

Cerita dari Pantai Cinta
Ia memulai karier dengan kebijakan tak populer. Akhirnya dekat di hati rakyat.

OMBAK menebah dermaga plastik yang terapung. Sudah dua jam lebih pemuda itu terombang-ambing. Di bibir anjungan Pantai Losari, Makassar, ia memainkan pancing, Jumat sore dua pekan lalu. Kerambanya masih kosong. ”Kadang sampai lepas magrib tak dapat,” kata Ali Nurdin. Sejak anjungan rampung, hampir saban hari Ali, warga Mamajang, datang ke Losari.

Kerapian Pantai Losari bermula dari pertemuan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Wali Kota Ilham Arif Sirajuddin di Makassar, Juli empat tahun silam. Dalam bincang-bincang sepeminuman teh, Megawati setuju mencanangkan revitalisasi pantai. Melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, Makassar mendapat bantuan Rp 25 miliar.

Awalnya, banyak pihak sangsi, termasuk anak buah Ilham. Berkaca ke tahun-tahun lalu, revitalisasi selalu kandas di tengah jalan. Pertama soal biaya. Kedua, banyak yang menentang, terutama pedagang kaki lima. Bila terbetik pembenahan, silih berganti demo memenuhi jalanan.

Dulu, setiap menjelang senja, warung tenda mulai berbentangan di jalur pantai sepanjang satu kilometer itu. Makanan-minuman segala rupa: coto makassar, sop konro, palu basah, es pisang ijo..., tinggal sebut! Makin malam, suasana makin marem.

Apalagi pada hari libur atau ketika ada pergelaran. Orang membeludak ke jalan. Kendaraan terpaksa mencari jalur memutar. Dampak lainnya: pantai tercemar, sampah mengambang di mana-mana. Menghadapi kenyataan ini, Ilham berpikir keras.

Setelah didukung Megawati, Ketua Partai Golkar Makassar itu mengerahkan 16 kadernya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan pun menyetujui Rp 5 miliar untuk pengerjaan tahap awal. Pemerintah Provinsi menambahi Rp 2 miliar.

Tapi jalan belum lapang. Demo masih ramai: Ilham dituding main mata dengan investor. Bila pantai dibenahi, orang khawatir harus membayar tiket masuk. Ilham seperti tak ambil pusing. ”Dia berani tidak populer,” kata pakar otonomi daerah, Andi Mallarangeng. ”Banyak terobosannya.”

Dua tahun lalu, anak Bupati Gowa Arif Sirajuddin itu membuktikan semua tuduhan mereka tak benar. Tak dipungut bayaran masuk. Kini masyarakat menanti anjungan Bugis-Makassar dan Toraja-Mandar yang masih dikerjakan. Makassar benar-benar menjadi waterfront city. Hotel, hospital, restoran, kafe, dan tempat hiburan menatap pemandangan pantai dan laut lepas yang menawan.

Menurut Ilham, sebagai gerbang utama menuju kawasan timur Indonesia, Makassar perlu bersolek. Ia berambisi menjadikan Makassar kota metropolitan pertama di luar Jawa. Akhir tahun lalu ia pun memulai proyek keduanya, memermak Lapangan Karebosi.

Kala itu, ruang terbuka di jantung kota tersebut memang tak layak lagi menjadi landmark ibu kota. Hujan sebentar saja, air sudah menggenang. Maklum, Karebosi satu meter di bawah permukaan jalan. Rumput menyembul tak rata. Di bawah pohon-pohon besar yang tersebar mengitari pagar, puluhan waria menjalankan aksinya, tak kenal sore atau malam.

Seperti waktu merombak Losari, aksi tata kota ini mendapat serangan serupa. Bahkan makin gencar, lantaran saat itu proses pemilihan wali kota mulai bergulir. Lagi-lagi Ilham tak ambil pusing. Ruang terbuka hijau di pusat Kota Anging Mamiri itu ditimbun tanah hingga satu meter di atas permukaan jalan. Untuk menambah penangkal banjir, drainase dibereskan. ”Air disalurkan ke pantai,” kata Ilham.

Agar kota bertambah segar, ratusan pohon ditanam di area sebelas hektare itu. Rumput dicukur rapi. Arena bermain yang sudah beroperasi sejak empat bulan lalu adalah lapangan sepak bola, softball, dan futsal yang dipisahkan jalur pedestrian selebar tiga meter. Di jalur itu, setiap sepuluh meter, satu pohon tumbuh menjulang.

Kamis dua pekan lalu, belasan pekerja terlihat merampungkan jalur menuju pendaratan helikopter di sisi utara lapangan. ”Tempat ini juga digunakan sebagai lapangan upacara,” kata Syamsul, salah seorang pekerja.

Nah, di bawahnya berdiri pertokoan dan mal yang memakan ruang hingga 2,9 hektare. Para pedagang, yang biasanya bertaburan, kini berjualan dengan tenang. Pengunjung juga banyak yang datang lantaran barang yang ditawarkan makin beragam. Soal ”banci”, kini tak ada lagi yang berani melenggang.

Jerih payah itu kemudian mulai berbuah. Sejak Ilham menjadi wali kota empat tahun silam, investasi yang masuk Rp 8,9 triliun. Ia memberikan kemudahan izin usaha. Misalnya, rekomendasi dari pemerintah kota tak lebih dari satu jam.

Pesatnya pendapatan daerah mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang tahun lalu mencapai 8,09 persen, jauh di atas angka nasional yang hanya 6,3 persen. Anggaran dan pendapatan daerah tiap tahun juga makin meningkat (lihat tabel).

Alokasi dana kesejahteraan pun terus bertambah. Tahun ini, untuk biaya kesehatan, pemerintah kota menganggarkan Rp 27,9 miliar. Dengan dana sebesar itu, warga tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun bila berobat ke puskesmas.

Ilham juga menerbitkan 60 ribu kartu miskin yang digunakan warga untuk mendapat layanan gratis kesehatan dan pendidikan. Bahkan siswa di 46 sekolah dasar dan empat sekolah menengah pertama mendapat seragam dan alat tulis cuma-cuma.

Masyarakat Makassar, akhirnya, merasa dekat dengan sang Wali Kota. ”Pak, foto bareng, ya?” serombongan muda-mudi di Pantai Losari menyapa Ilham, Jumat dua pekan lalu. Ilham bahkan ”patuh” ketika mereka meminta dia mengacungkan jempol saat berpose.

sumber:
majalahTempoInteraktif

Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.

Tematik : tokoh panutan

DJAROT SAIFUL HIDAYAT, WALI KOTA BLITAR

Dengan Belimbing dan Kendang Jimbe
Di tangannya, birokrasi Kota Blitar jadi ramping. Industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.


DJAROT Saiful Hidayat tak segan tampil beda di tengah zaman yang ditandai dengan gedung mentereng dan lampu sorot. Wali Kota Blitar ini menolak pembangunan mal mewah dan membatasi minimarket. Pedagang kaki lima diberi tempat leluasa. ”Saya bangga, kota saya dipenuhi pedagang kaki lima,” katanya.

Tentu saja, pedagang kaki lima di Blitar tak semrawut seperti cendol tumpah. Djarot menata 1.000-an pedagang kaki lima yang tadinya membikin kumuh kompleks alun-alun kota. ”Lumayan, satu kaki lima menyerap paling sedikit tiga orang tenaga kerja,” katanya. Djarot yakin, ini potensi perekonomian yang tak kalah dibanding pembangunan mal.

Pada 2000, di awal masa jabatannya, alun-alun itu dibenahi. Taman dikembalikan fungsinya. Tak jauh dari alun-alun dibangun kompleks untuk pedagang kaki lima. ”Saya bilang, sampeyan boleh jualan tapi harus bersih,” kata pria 46 tahun ini.

Walhasil, semua orang tersenyum. Pedagang kaki lima girang karena mendapat lokasi yang nyaman. Anak-anak riang bermain di taman. Djarot pun senang menikmati udara, bersepeda ontel, lalu membeli jajanan di warung kaki lima. Alun-alun kembali menjadi milik publik.

Sambil menyeruput kopi jahe buatan sang istri, Happy Farida, 39 tahun, Djarot mengisahkan kesibukannya memimpin warga kota kelahiran Soekarno, Presiden RI pertama.

Sebagai wali kota, urusan Djarot tentu bukan cuma alun-alun. Begitu menjabat delapan tahun lalu, mantan dosen di Universitas 17 Agustus Surabaya ini segera memusatkan perhatian pada birokrasi. Struktur organisasi yang gemuk, tumpang-tindih, telah membuat pemerintahan bergerak laksana gajah tua. ”Ini ndak bisa dibiarkan,” katanya.

Pedang pun diayunkan. Djarot tak memperpanjang usia pensiun pejabat. Posisi tak efektif yang kosong ditinggal pensiun dibiarkan tak terisi. Hasilnya, hampir sembilan tahun, 300 posisi di birokrasi telah dipangkas.

Rekrutmen pegawai ditangani serius. Djarot menggandeng Universitas Airlangga, Surabaya. ”Saya percaya, untuk mendapat birokrat berkualitas, harus dimulai dari rekrutmen.”

Maka, dua pekan lalu, proses seleksi berjalan tanpa campur tangan pemerintah kota. Semuanya dipasrahkan kepada tim Universitas Airlangga. ”Saya melarang staf saya masuk,” katanya.

Budaya birokrasi juga dibereskan. ”Birokrat itu pelayan masyarakat, tapi nyatanya justru birokrat yang sering minta dilayani,” katanya. Bersama berbagai lapisan masyarakat, Pemerintah Kota Blitar menyusun Citizen’s Charter, kontrak pelayanan. Di sini, berbagai hal disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak.

Adalah Puskesmas Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, yang dijadikan proyek percontohan pada 2005. Kontrak yang dibuat di sana antara lain jadwal pelayanan, waktu antre, dan standar ruang pelayanan. ”Senyum dan tata cara menerima telepon juga masuk kontrak, ha-ha-ha…,” kata Djarot.

Jurus jitu. Puskesmas Bendo dulu dikunjungi 70-an pasien saban hari. Setelah kontrak diterapkan, puskesmas ini didatangi minimal seratus orang per hari. Kualitas kesehatan pun meningkat. Kini, model pelayanan di puskesmas Bendo menjadi standar rujukan pelayanan di Indonesia.

Djarot tak pernah bermimpi menarik investor besar untuk mendirikan pabrik berjejer-jejer di Blitar. Kalangan industri toh lebih memilih kawasan sekitar Surabaya. Maka ia lebih getol mendorong pertumbuhan usaha kecil. Saat ini sekitar 15 ribu usaha mikro-menengah hidup di kota berpenduduk 132 ribu jiwa ini.

Kota Blitar juga dikenal sebagai produsen kendang jimbe, yang tak hanya dijual ke Bali, tapi juga ke Prancis dan Afrika. Kendang ini badannya terbikin dari kayu bubut, ditutup kulit lembu, dan diikat dengan tali-temali.

Priyo Widigdo dari Bagian Pemasaran Paguyuban Perajin Bubut Kota Blitar menilai Djarot amat berperan membuka jalan pemasaran produk kerajinan Blitar. ”Kami banyak dibantu. Bisa berkonsultasi dengan Pak Wali Kota kapan pun,” kata Priyo.

Produk unggulan lainnya adalah belimbing. Pusatnya di Kelurahan Karangsari. Di kota ini tumbuh 28 ribu pohon belimbing yang menghasilkan 2.000 ton buah per tahun dan dijual hingga Jakarta. Sebagian belimbing juga diolah menjadi sirop dan dodol.

Belimbing telah menghidupi banyak orang. Supriadi Bagong, 38 tahun, misalnya, memiliki 70 pohon ini. Dari kebunnya itu ia beroleh pemasukan Rp 1,5 juta per bulan.

Djarot punya obsesi lain: memberantas kemiskinan dengan menggerakkan kebersamaan warga. Inspirasinya datang lima tahun lalu, saat meresmikan jembatan Sukorejo. Di tengah seremoni, ia terenyak menyaksikan sejumlah rumah berdinding gedek yang bolong-bolong.

Sejak itu, pemerintah kota mengucurkan uang insentif untuk memermak rumah warga yang tak layak huni. Nilainya Rp 4,5-7 juta per rumah. Masyarakat bergotong-royong menyumbang dan melaksanakan ”operasi bedah rumah” yang berbiaya Rp 15-20 jutaan tiap rumah. Kini, sudah 600-an rumah dibedah. ”Dua ratusan rumah menyusul,” kata Djarot.

Hari itu, Djarot mengakhiri perbincangan dengan ajakan minum kopi di warung Mbah Munawaroh, di samping Pasar Legi. Kopi di warung ini dijamin segar dan mantap. Simbah sendiri yang memilih biji kopi, menyangrai, dan menumbuknya. Tangan keriput nenek 75 tahun ini bekerja dengan lihai, menyajikan kopi tubruk yang harum dengan asap mengepul. Slurrp, hm, kopi yang nikmat. Djarot memuji Simbah, ”Panjenengan memang top, Mbah.”

sumber:
majalahTempoInteraktif

Belajar dari para tokoh

Tematik : tokoh panutan

Newsgroups: gmane.org.region.indonesia.bandung.itb-77
Date: 2008-12-23 06:21:06 GMT (2 days, 18 hours and 48 minutes ago)

Dear all,
Berikut adalah cuplikan dari Laporan Utama majalah Tempo mengenai kiprah para Kepala Daerah Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, mengapa mereka bisa terpilih menjadi sepuluh besar dari 472 orang.

Hal ini disampaikan untuk menunjukkan betapa banyak dan mungkin betapa sederhana sebenarnya keinginan atau aspirasi rakyat yang dituntut dari para pemimpinnya, cukup sederhana saja - asal dilakukan dengan hati.
Semoga menjadi inspirasi kita semua dalam berkiprah - tidak hanya para caleg lho- untuk turut mensejahterakan rakyat, semoga.....

Ada begitu banyak pelajaran dari sepuluh tokoh ini. Yang terpenting, Jakarta perlu percaya bahwa daerah bisa mengurus diri sendiri. Banyak tokoh lokal yang ternyata mampu melahirkan terobosan dan inovasi—yang tak muncul pada masa kepala daerah ”diterjunkan” dari atas. Mereka menolak fenomena klasik birokrasi: korupsi, inefisiensi, bekerja tanpa visi. Sepuluh orang ini menempatkan teladan dan kejujuran di urutan pertama. Mereka percaya, komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan, bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja mencapainya.

  1. Seperti kata Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, negara kesatuan ini memang harus dibangun dari daerah. Dokter ini pun menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi ”Singapura kecil” dalam waktu sepuluh tahun. Sebelum era otonomi, Jusuf mengaku tak ubahnya seorang satpam yang hanya melaksanakan perintah atasan.

  2. Seorang Untung Sarono Wiyono Sukarno dengan kegairahan luar biasa pada teknologi informasi menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu efisiensi pemerintahan meningkat pesat.

  3. Wali Kota Solo Joko Widodo—yang di daerahnya disapa Jokowi—mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas: mengerahkan aparat atau membakar lokasi. ”Setelah makan, ya, saya suruh pulang lagi,” kata Jokowi. Setelah undangan makan yang ke-54, baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Para pedagang gembira ria, mereka menyediakan tumpeng sendiri.

  4. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mendapat julukan ”Wagiman” alias wali kota gila taman. Tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, membeli lahan-lahan kosong hanya untuk taman. Yogya terasa segar, karena taman bertambah dari 9 menjadi 22 hektare.

  5. Bertahun-tahun Lapangan Karebosi di Makassar menjadi milik para waria pada malam hari. Kemudian datanglah wali kota baru, Ilham Arif Sirajuddin, 43 tahun, yang dengan berani mengubah lapangan itu. Ia yakin, warga Makassar perlu lebih banyak ruang terbuka. Ia dilawan, didemo, tapi ia tahu bahwa kepentingan publik nomor satu. Lapangan kumuh dan kerap direndam banjir itu akhirnya menjelma menjadi tempat yang megah tanpa kehilangan label sebagai tempat rendezvous penduduk.

  6. Di Blitar, Jawa Timur, Djarot Saiful Hidayat memulai pekerjaan dengan mereformasi birokrasi yang tambun dan lamban. Dengan begitu, ”Anggaran belanja daerah pasti cukup, asal jangan dikorupsi,” kata penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional ini. Ia tak mengganti mobil dinasnya, Toyota Crown tahun 1994, sejak hari pertama menjabat. ”Modal saya hati. Saya ingin warga Blitar maju dan sejahtera,” ujar Djarot, yang sudah dua periode menjabat.

  7. David Bobihoe meruntuhkan pagar rumah dinasnya di Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Pos jaga ia ratakan dengan tanah. Tamu dari mana saja bebas duduk-duduk di teras rumah, tanpa terhadang aturan protokol ketat. Dia rajin berkeliling daerah, mendengar kemauan orang banyak. Ia sukses mengajak rakyat membangun, menanam jagung, dan mengekspor hasilnya.

  8. Bupati Badung, Bali, Anak Agung Gde Agung, punya masalah berat: ekonomi penduduk timpang. Di daerah selatan, Kuta dan sekitarnya, masyarakat makmur karena pariwisata. Tapi petani di utara miskin. Sekolah pertanian ia bangun. Agrobisnis dikembangkan. Ia berhasil. Badung sekarang sanggup menyumbangkan sebagian pendapatan untuk enam kabupaten lain di Bali.

  9. Nun jauh di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Bupati Andi Hatta Marakarma menghadapi daerah pemekaran dengan potensi bagus tapi miskin prasarana. Ia membangun desa, termasuk jalan, dan membiarkan kantornya sangat sederhana. Resepnya jitu. Ekonomi rakyat berkembang. ”Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000,” kata salah seorang ketua kelompok tani di Luwu.

  10. Bupati Jombang Suyanto mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di puskesmas. Protes datang dari instansi kesehatan karena ia dinilai melecehkan dokter spesialis. Ia jalan terus dan sekarang puskesmas menyandang tingkatan ISO. Ia juga menggratiskan sekolah sampai sekolah lanjutan atas. ”Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat,” ujar bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu.

Best Regards,

Yadi Supriadi Wendy