Jumat, 09 Januari 2009

menggiatkan usaha pertanian

Tematik : tokoh panutan

A.A. GDE AGUNG, BUPATI BADUNG
Agar Seimbang Selatan-Utara
Bupati Badung A.A. Gde Agung menjaga keseimbangan antara kawasan utara dan selatan. Menggiatkan usaha pertanian.

Suatu hari, Anak Agung Gde Agung mempunyai mimpi. Sebab, Bupati Badung itu melihat betapa berbedanya kawasan utara Kabupaten Badung yang terdiri dari pegunungan, dan bagian selatan yang memiliki pantai yang landai dan indah seperti Kuta. Udara yang hangat di selatan ini menjadikan daerah itu tempat pelesir favorit bagi turis yang berambut pirang ataupun mereka yang berkulit cokelat.

Bagian selatan ini pula yang menjadi penyumbang pendapatan asli daerah tersebut sejak dulu. Pajak hotel dan restoran adalah sumber pendapatan yang luar biasa, hingga membuat Badung kabupaten terkaya di Pulau Dewata.

Tetapi kawasan utara jauh berbeda. Di sini penduduknya hidup dari pertanian. Alhasil, sukar disanggah, selain pendapatan antara penduduk dua kawasan ini jadi timpang, terjadi pula perbedaan gaya hidup.

Hingga tahun lalu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah turis dari luar negeri yang datang ke sana mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2003, jumlahnya yang 990 ribu melonjak menjadi 1,7 juta pada 2007. Nah, terbayang sudah uang yang berseliweran di sana.

Menciptakan keseimbangan itulah yang menjadi salah satu program yang digagas Anak Agung Gde Agung pada saat maju dalam pemilihan bupati tiga tahun silam. Selama tiga tahun pemerintahannya, Gde Agung menemukan jalan ini untuk memperkecil kesenjangan yang terjadi di antara dua kawasan itu.

Caranya? Banyak. Di antaranya dengan melakukan perimbangan pembangunan yang dibiayai dari anggaran pendapatan belanja daerah. Berbagai infrastruktur mereka bangun. Lalu, potensi yang dimiliki kawasan itu dikembangkan. Kawasan utara sebagai penghasil bumi menjadi penyedia kebutuhan para pengusaha pariwisata di kawasan selatan.

Ide lain adalah mendirikan sebuah sekolah yang melatih kompetensi agrobisnis atau agrowisata. ”Kelak, lulusan dari sekolah itu bisa menjadi tenaga kerja di bidang tersebut atau membuka usaha sendiri,” kata Agung. Dalam bayangannya, dengan mendirikan sekolah menengah pertanian, yang sepenuhnya disubsidi pemerintah daerah, dia menginginkan kawasan ini bisa tumbuh menjadi basis pertanian yang kuat.

Gedung sekolah itu sebelumnya adalah pesanggrahan milik pemda. Bentuknya pun tak berubah sampai sekarang. Namun, di bagian belakang, pemandangannya berbeda. Selain beberapa gedung berupa kelas, sebuah bangunan besar tampak mencolok. Bangunan itu tinggi tapi tidak berdinding. ”Kami sedang membangun laboratorium,” kata I Gusti Made Bawasuarya, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Petang, Badung Utara. Sehari-hari Bawasuarya mengelola sekolah yang memiliki sekitar 300 siswa di tahun ketiganya itu. Jumat tiga pekan silam, Tempo bertandang ke sana. Sayang, hari itu sekolah kosong. ”Kami baru saja menyelesaikan ujian semester,” katanya.

Beruntung, Badung memiliki Gde Agung. Pria berusia 59 tahun ini, jauh sebelum menjabat kepala daerah, memang sudah dikenal masyarakat. Pria yang pernah bekerja sebagai notaris ini salah satu penglingsir atau pemuka masyarakat dari Puri Mengwi.

Secara tradisional, penglingsir mendapat tempat di hati masyarakat. Warga mendatangi tokoh seperti Gde Agung pada saat-saat tertentu. Misalnya ketika sawah mereka kekurangan air.

Gde Agung maju dalam pemilihan Bupati Badung pada Juni 2005, dengan dukungan para pemuka adat. ”Tapi setiap calon harus mendapat sokongan partai politik,” katanya. Partai Golkar menjadi salah satu pendukungnya.

Dukungan dari masyarakat ini membuat langkah Gde Agung kian mantap. Sebaliknya, dia tidak meninggalkan akarnya. Dia menggerakkan lembaga adat di sana. Salah satunya dengan mengembangkan lembaga perkreditan. Sumbangan ini membawa perubahan yang luar biasa. Lembaga adat pun ikut bergabung dalam program-program pemerintahan daerah.

Namun, yang terpenting, menurut Gde Agung, wilayahnya membutuhkan keseimbangan dari daerah lainnya. Untuk itu pula, dengan pendapatan pajak yang berlimpah dari sektor pariwisata, pihaknya memberikan bantuan kepada daerah di sekelilingnya.

Untuk anggaran tahun ini saja, mereka mengucurkan bantuan kepada enam kabupaten di sekitarnya, yakni Jembrana, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Bangli, dan Klungkung. Masing-masing berbeda jumlahnya. Namun total dana yang disalurkan mencapai Rp 15 miliar. ”Ini merupakan upaya kami dalam menjalankan prinsip one island management,” katanya.

Masalah tentu saja bukan tidak ada. Satu di antaranya adalah penduduk pendatang. Bagaimanapun, Kuta dan tempat lainnya tak ubahnya gula nan manis yang selalu dikerubungi semut. Masalah lainnya, persoalan lingkungan.

Di antaranya pembangunan yang mengambil lahan pertanian. ”Kami telah membongkar bangunan yang tidak memiliki izin,” katanya tentang upaya membuat lingkungan hidup di sana tetap terjaga.

Hal lainnya adalah soal alih fungsi lahan menjadi bangunan hotel, misalnya, dari tahun ke tahun kian berkurang jumlahnya. Hingga tahun ini, alih fungsi lahan ini tinggal 1 hektare saja. ”Tapi kami tak bisa melarang penduduk yang menjual tanahnya,” katanya.

Bagi Gde Agung, semua upaya ini bermuara pada upaya menjaga semua berada dalam keseimbangan.

sumber : tempoInteraktif

walikota menjamu pedagang kaki lima

Tematik : tokoh panutan

JOKO WIDODO, WALI KOTA SURAKARTA
Wali Kaki Lima
Di banyak daerah, pedagang kaki lima digusur dan dikejar-kejar. Di Surakarta, mereka dijamu makan Wali Kota.

SEMUANYA berawal pada 2005. Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.

Joko bingung. Ia tak ingin menempuh cara gampang: panggil polisi dan tentara, lalu usir pedagang itu pergi. ”Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak,” katanya.

Tak bisa tidak: pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Tiga wali kota sebelumnya angkat tangan. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor wali kota kalau digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali—1998 dan 1999—dihanguskan massa.

Lalu muncul ide: untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir mebel 18 tahun, Joko tahu betul ampuhnya ”lobi meja makan”.

Rencana disusun. Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari—kawasan paling elite di Solo. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.

Aksi dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota. Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengutus lembaga swadaya masyarakat. Joko menahan diri. Seusai makan, dia mempersilakan mereka pulang. Para pedagang kaki lima kecele. ”Enggak ada dialog, Pak?” tanya mereka. ”Enggak. Cuma makan siang, kok,” jawab Joko.

Tiga hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi cuma SMP—sudah makan pulang. Ini berlangsung terus selama tujuh bulan. Baru pada jamuan ke-54—saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir—Joko mengutarakan niatnya. ”Bapak-bapak hendak saya pindahkan,” katanya. Tak ada yang membantah.

Para pedagang minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Joko tak berani. Dia cuma berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan—yang khusus dibangun untuk relokasi—selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Janji itu dia tepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota.

Terakhir, mereka minta kios diberikan gratis. ”Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan,” kata Joko. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jadilah para pedagang tak mengeluarkan uang untuk kios barunya. Sebagai gantinya, para pedagang harus membayar retribusi Rp 2.600 per hari. Joko yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali.

Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pada pertengahan tahun lalu berlangsung meriah. Bukannya dikejar-kejar seperti di kota lain, mereka pindah dengan senyum rasa bangga. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng—simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap.

”Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata Joko. Diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. ”Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya.

Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.

Berhasil dengan Banjarsari, Joko merambah kaki lima di wilayah lain. Untuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.

Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. ”Sekarang kami yang kewalahan karena belum punya dana,” kata Joko, tertawa. Tapi rencana terus jalan. Januari mendatang, misalnya, akan dibuat Pasar Malam di depan Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan.

Joko juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional yang selama 30-an tahun tak pernah diurus. Tiga tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2010, sebagian besar dari 38 pasar tradisional Solo telah dibangun ulang.

Ketika masih mengelola sendiri usaha mebelnya, Joko sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah.

Di sini kebalikan. Ibu-ibu lebih suka ke mal karena pasarnya kotor dan berbau. ”Makanya pasar saya benahi,” katanya. Agar lebih menarik, tahun depan akan dibuat promosi: belanja di pasar dapat hadiah mobil.

Toh, tak sia-sia Joko ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.

sumber : tempoInteraktif